Kopasjambi.com, Jakarta – Jaksa Agung telah melakukan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif. Penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dilakukan melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAMPidum) Dr. Fadil Zumhana, di mana penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif yang telah di setujui sebanyak 6 permohonan.
Adapun sebanyak 6 berkas perkara yang dihentikan penuntutannya berdasarkan keadilan restoratif, yaitu pertama, tersangka Arron Syah Malik Alias Arron dari Kejaksaan Negeri Minahasa Selatan yang di sangka melanggar Pasal 80 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang RI dan Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
Kedua. tersangka Geviandri Satria Bayu Makatempuge dari Kejaksaan Negeri Kepulauan Sangihe yang di sangka melanggar Pasal 360 Ayat (1) KUHP subsidair Pasal 360 Ayat (2) KUHP tentang Kelalaian yang Menyebabkan Luka Berat.
Sementara itu. Ceacar Masinambow Alias Cesar dari Kejaksaan Negeri Minahasa Selatan yang di sangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
Keempat, tersangka Shaleh Mokhan Alias Sebe dari Kejaksaan Negeri Halmahera Tengah yang di sangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
Berjanji Tidak Akan Mengulangi Kembali
Kelima. Tersangka Roni Ramdani Bin Komarudin dari Kejaksaan Negeri Garut yang di sangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.
Terakhir. Tersangka Iksan Permana Bin Muslih dari Kejaksaan Negeri Sumedang yang di jerat Pasal 480 ke-1 KUHP tentang Penadahan.
Jampidum menjelaskan alasan pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini di berikan. Telah di laksanakan proses perdamaian di mana Tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf. “Tersangka belum pernah di hukum, tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana. Ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari lima tahun. Tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya,” terangnya.
Selain itu, lanjutnya. Proses perdamaian di lakukan secara sukarela dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi. Lalu, tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar. Termasuk pertimbangan sosiologis dan masyarakat merespon positif.
“Selanjutnya, JAMPidum memerintahkan kepada Para Kepala Kejaksaan Negeri. Untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif. Sesuai Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan. Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum,” tambah Kapuspenkum Kejaksaan Agung RI, Ketut Sumedana, melalui keterangan tertulisnya.(*)
Komentar