TEBO, KOPASJAMBI.COM – Terletak di wilayah Bukit Tiga Puluh, Kabupaten Tebo, para petani karet berusaha keras dalam mempertahankan mata pencahariannya melalui getah karet yang dihasilkan.
Harga penjualan yang tergolong murah, dan kehadiran sawit yang lebih menggiurkan secara pendapatan dan perawatan tanaman yang terbilang lebih mudah dilakukan dibanding karet menjadi kendala umum yang terjadi dilapangan.
Haris, salah seorang petani karet tergabung dalam Kelompok Tani Harapan Jaya yang ada di Desa Semambu juga menjadi salah satu yang terdampak dari kendala tersebut. Namun, ia menyampaikan bahwa kehadiran WWF Indonesia dalam membina dan mendampingi para petani memberikan dampak nyata.
Salah satunya adalah program penjualan bersama. Penjualan bersama ini membantu para petani untuk langsung menjual getah karet ke pabrik. Diketahui bahwa penjualan ini memberikan selisih yang besar kepada para petani dibandingkan dengan menjual kepada para tengkulak, yang dapat memberikan harga lebih rendah kepada para petani karet.
Meski sebelumnya, terdapat keterikatan antara para petani dengan tengkulak melalui transaksi hutang piutang. WWF Indonesia hadir membantu para petani mengatasi keterikatan yang telah terjalin cukup lama ini.
“Untuk penjualan kita dari dulu memang ada tengkulak yang beli disini. Tapi sekarang, dengan adanya pendampingan dari WWF, kita mau sudah mulai jual ke kelompok langsung ke pabrik sendiri. Karena petani ini sebelumnya memiliki ikatan kepada para tengkulak dalam bentuk hutang, dengan adanya WWF diharapkan dapat membantu mengatasi keterikatan ini,” tutur Haris.
Selain itu, Haris juga menyampaikan bahwa penanaman pohon karet ini mengurangi interaksi negatif antara gajah dan manusia. Hal ini dikarenakan gajah tidak terlalu menyukai tanaman karet, terutama yang sudah dipotong, berbanding terbalik dengan sawit yang menjadi kesukaan gajah.
“Pada awal saya masuk tahun 2011, gajah kan tidak ada pilihan dia akan tetap menyerang karet. Tapi dengan adanya tahun 2012, 2013 banyak pendatang masuk, dia(pendatang) menanam sawit sekarang gajah sudah tidak mau lagi makan karet, makanya kita bertahan. Kan disampaikan bahwa kita harus hidup berdampingan dengan satwa yang dilindungi, dan sedangkan kita menanam sawit itukan memang makanan dia. Saat ini saya belum ada menanam sawit satu pun,” lanjutnya.
BACA JUGA: Ketahanan Pangan Kunci Pembangunan Daerah Muara Sekalo
Pembinaan dari WWF Indonesia kepada para petani karet juga dirasakan oleh Budi Ardiansyah, Ketua dari Kelompok Tani Maju Bersama yang terletak di Muara Sekalo. Pihaknya menyampaikan bahwa saat ini para petani karet sudah mendapatkan ilmu yang lebih baik untuk menjaga dan merawat tanamannya.
“Kami dapat sekolah dari WWF, bahkan ada anggota yang menyesal menebang karet ganti sawit. Karena sekarang warga sudah mendapatkan ilmu untuk mengelola pohon karet. Dengan WWF masuk ke warga, jadi warga merasa mampu untuk bangkit lagi menjadi petani karet. Dengan mendapatkan ilmu dari WWF, warga merasakan dampak yang berbeda. Terutama dari kualitas karet yang dihasilkan,” jelas Budi.
Adanya kelompok tani ini sendiri membantu meminimalisir adanya ketimpangan harga antar para petani. Dimana para petani mengetahui harga asli dari penjualan karet dan basi pada karet. Di Desa Sekalo, terdapat motto yang diterapkan oleh para petani yaitu satu mutu, satu waktu, satu harga.
“Perbedaan sebelum dan sesudah menjual berkelompok.Warga jadi mengetahui harga asli, dan basi pada karet. Hal transparan ini memberikan kenyamanan bagi para petani karet,” sambung Budi.
Diketahui bahwa gajah, ternyata tidak menyukai tanaman seperti jeruk, lada, atau kopi. Dengan menanam tanaman-tanaman ini di sekitar kebun karet, petani bisa melindungi pohon karet dari ancaman gajah. Hal ini dilakukan oleh Tumidi, petani karet dari Desa Semambu. Lahan karet milik Tumidi ini juga ditanami dengan tanaman kopi.
“Alasan menanam karet ya karena hama, hamanya kan gajah. Gajah tidak mau dengan karet, dan menanam kopi juga dengan alasan yang sama. Karena gajah tidak mau memakan kopi,” jelas Tumidi.
Kopi yang ditanam dilahannya merupakan varietas liberika yang tahan terhadap jamur akar putih, dimana jamur ini menjadi penyakit yang sering dijumpai pada karet dan dapat berimbas pada kualitas getah karet.
“Pohon kopi yang ditanam ini ada dua, yang berada dibawah kopi liberika itu tahan dengan jamur akar putih makanya saya campur dengan kopi robusta. Dan hasilnya kopi robusta, dan jadinya lebih tahan terhadap jamur akar putih,” ujarnya.
Selain itu, keberadaan kopi ini juga menjadikan pohon karet disekitarnya lebih baik lagi.
“Adanya tanaman kopi, tidak terlalu mempengaruhi kesehatan pohon karet, dan hasil getah karet menjadi lebih baik karena dengan adanya pohon kopi mampu menahan angin,” sambungnya.
BACA JUGA: Belajar Menjaga Alam, Belajar Mengurangi Dampak Pemanasan Global
Diketahui bersama bahwa tanaman karet ini masih menjadi komoditi terbesar di Indonesia. Oleh karena itu, pentingnya kesadaran dari masyarakat, pemerintah dan juga swasta untuk dapat bersama-sama menjaga komoditi ini dengan baik.
Terkait lingkungan sendiri, jika dibandingkan dengan sawit, maka akan terlihat jauh perbedaannya. Dimana pohon karet ini terbilang menjadi tanaman yang ramah lingkungan, dari pemakaian pupuk yang minim, dapat menyerap karbondioksida menjadikan udara lebih bersih, dan tentunya mengurangi peluang interaksi negatif dengan gajah.
Sehingga diperlukannya sinergitas dari seluruh stakeholder untuk membantu keberlangsungan penanaman karet ini. Terutama membantu para petani karet dalam mengatasi jamur akar putih dan permasalahan harga yang murah agar dapat membantu perekonomian para petani karet dan dapat berimbas pada peningkatan perekonomian daerah.
Komentar